Minggu, 10 Mei 2009

EKOSISTEM PANTAI























A. Mangrove

Hutan bakau atau disebut juga hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di atas rawa-rawa berair payau yang terletak pada garis pantai dan dipengaruhi oleh pasang-surut air laut. Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai di mana air melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu. Ekosistem hutan bakau bersifat khas, baik karena adanya pelumpuran tadi --yang mengakibatkan kurangnya aerasi tanah; salinitas tanahnya yang tinggi; serta mengalami daur penggenangan oleh pasang-surut air laut. Hanya sedikit jenis tumbuhan yang bertahan hidup di tempat semacam ini, dan jenis-jenis ini kebanyakan bersifat khas hutan bakau karena telah melewati proses adaptasi dan evolusi.

Luas dan Penyebaran
Hutan-hutan bakau menyebar luas di bagian yang cukup panas di dunia, terutama di sekeliling khatulistiwa di wilayah tropika dan sedikit di subtropika. Luas hutan bakau Indonesia antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar, merupakan mangrove yang terluas di dunia. Melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97 ha) (Spalding dkk, 1997 dalam Noor dkk, 1999). Di Indonesia, hutan-hutan mangrove yang luas terdapat di seputar Dangkalan Sunda yang relatif tenang dan merupakan tempat bermuara sungai-sungai besar. Yakni di pantai timur Sumatra, dan pantai barat serta selatan Kalimantan. Di pantai utara Jawa, hutan-hutan ini telah lama terkikis oleh kebutuhan penduduknya terhadap lahan. Di bagian timur Indonesia, di tepi Dangkalan Sahul, hutan-hutan mangrove yang masih baik terdapat di pantai barat daya Papua, terutama di sekitar Teluk Bintuni. Mangrove di Papua mencapai luas 1,3 juta ha, sekitar sepertiga dari luas hutan bakau Indonesia


Lingkungan fisik dan zonasi


Pandangan di atas dan di bawah air, dekat perakaran pohon bakau, Rhizophora sp. Jenis-jenis tumbuhan hutan bakau ini bereaksi berbeda terhadap variasi-variasi lingkungan fisik di atas, sehingga memunculkan zona-zona vegetasi tertentu. Beberapa faktor lingkungan fisik tersebut adalah:
1. Jenis tanah.
Sebagai wilayah pengendapan, substrat di pesisir bisa sangat berbeda. Yang paling umum adalah hutan bakau tumbuh di atas lumpur tanah liat bercampur dengan bahan organik. Akan tetapi di beberapa tempat, bahan organik ini sedemikian banyak proporsinya; bahkan ada pula hutan bakau yang tumbuh di atas tanah bergambut. Substrat yang lain adalah lumpur dengan kandungan pasir yang tinggi, atau bahkan dominan pecahan karang, di pantai-pantai yang berdekatan dengan terumbu karang.
2. Terpaan ombak
Bagian luar atau bagian depan hutan bakau yang berhadapan dengan laut terbuka sering harus mengalami terpaan ombak yang keras dan aliran air yang kuat. Tidak seperti bagian dalamnya yang lebih tenang. Yang agak serupa adalah bagian-bagian hutan yang berhadapan langsung dengan aliran air sungai, yakni yang terletak di tepi sungai. Perbedaannya, salinitas di bagian ini tidak begitu tinggi, terutama di bagian-bagian yang agak jauh dari muara. Hutan bakau juga merupakan salah satu perisai alam yang menahan laju ombak besar.

3. Penggenangan oleh air pasang
Bagian luar juga mengalami genangan air pasang yang paling lama dibandingkan bagian yang lainnya; bahkan terkadang terus menerus terendam. Pada pihak lain, bagian-bagian di pedalaman hutan mungkin hanya terendam air laut manakala terjadi pasang tertinggi sekali dua kali dalam sebulan. Menghadapi variasi-variasi kondisi lingkungan seperti ini, secara alami terbentuk zonasi vegetasi mangrove; yang biasanya berlapis-lapis mulai dari bagian terluar yang terpapar gelombang laut, hingga ke pedalaman yang relatif kering.
Jenis-jenis bakau (Rhizophora spp.) biasanya tumbuh di bagian terluar yang kerap digempur ombak. Bakau Rhizophora apiculata dan R. mucronata tumbuh di atas tanah lumpur. Sedangkan bakau R. stylosa dan perepat (Sonneratia alba) tumbuh di atas pasir berlumpur. Pada bagian laut yang lebih tenang hidup api-api hitam (Avicennia alba) di zona terluar atau zona pionir ini. Di bagian lebih ke dalam, yang masih tergenang pasang tinggi, biasa ditemui campuran bakau R. mucronata dengan jenis-jenis kendeka (Bruguiera spp.), kaboa (Aegiceras corniculata) dan lain-lain. Sedangkan di dekat tepi sungai, yang lebih tawar airnya, biasa ditemui nipah (Nypa fruticans), pidada (Sonneratia caseolaris) dan bintaro (Cerbera spp.). Pada bagian yang lebih kering di pedalaman hutan didapatkan nirih (Xylocarpus spp.), teruntum (Lumnitzera racemosa), dungun (Heritiera littoralis) dan kayu buta-buta (Excoecaria agallocha).
Bentuk-bentuk adaptasi
Menghadapi lingkungan yang ekstrim di hutan bakau, tetumbuhan beradaptasi dengan berbagai cara. Secara fisik, kebanyakan vegetasi mangrove menumbuhkan organ khas untuk bertahan hidup. Seperti aneka bentuk akar dan kelenjar garam di daun. Namun ada pula bentuk-bentuk adaptasi fisiologis.


Tegakan api-api Avicennia di tepi laut. Perhatikan akar napas yang muncul ke atas lumpur pantai.
Pohon-pohon bakau (Rhizophora spp.), yang biasanya tumbuh di zona terluar, mengembangkan akar tunjang (stilt root) untuk bertahan dari ganasnya gelombang. Jenis-jenis api-api (Avicennia spp.) dan pidada (Sonneratia spp.) menumbuhkan akar napas (pneumatophore) yang muncul dari pekatnya lumpur untuk mengambil oksigen dari udara. Pohon kendeka (Bruguiera spp.) mempunyai akar lutut (knee root), sementara pohon-pohon nirih (Xylocarpus spp.) berakar papan yang memanjang berkelok-kelok; keduanya untuk menunjang tegaknya pohon di atas lumpur, sambil pula mendapatkan udara bagi pernapasannya. Ditambah pula kebanyakan jenis-jenis vegetasi mangrove memiliki lentisel, lubang pori pada pepagan untuk bernapas.
Untuk mengatasi salinitas yang tinggi, api-api mengeluarkan kelebihan garam melalui kelenjar di bawah daunnya. Sementara jenis yang lain, seperti Rhizophora mangle, mengembangkan sistem perakaran yang hampir tak tertembus air garam. Air yang terserap telah hampir-hampir tawar, sekitar 90-97% dari kandungan garam di air laut tak mampu melewati saringan akar ini. Garam yang sempat terkandung di tubuh tumbuhan, diakumulasikan di daun tua dan akan terbuang bersama gugurnya daun.
Pada pihak yang lain, mengingat sukarnya memperoleh air tawar, vegetasi mangrove harus berupaya mempertahankan kandungan air di dalam tubuhnya. Padahal lingkungan lautan tropika yang panas mendorong tingginya penguapan. Beberapa jenis tumbuhan hutan bakau mampu mengatur bukaan mulut daun (stomata) dan arah hadap permukaan daun di siang hari terik, sehingga mengurangi evaporasi dari daun.
Pohon bakau (mangrove) dapat hidup di tanah atau air asin, dan ditemukan di Pulau Komodo, Rinca dan Padar. Sebagian akar bakau berada di atas air sehingga ia bisa mengambil karbon dioksida dari udara. Beberapa pohon bakau memiliki biji yang mengambang di laut sampai mereka menemukan tanah yang cocok untuk tumbuh. Pohon bakau lain memiliki tempat kantung biji yang panjang, yang matang di pohon dan kemudian jatuh ke lumpur di bawah pohon induk. Kajian sumber daya bakau yang dilakukan oleh tenaga ahli JICA dari Pusat Bakau Bali pada tahun 1996, telah mengidentifikasikan paling sedikit 19 spesies bakau murni dan sejumlah spesies asosiasi bakau di dalam perbatasan TNK. Kawasan di sekitarnya kelihatan mempunyai paling sedikit 24 spesies bakau murni dari seluruh 30 spesies yang diketahui terdapat di Indonesia.

B. PADANG LAMUN
Definisi
Perairan pesisir merupakan lingkungan yang memperoleh sinar matahari cukup yang dapat menembus sampai ke dasar perairan. Di perairan ini juga kaya akan nutrien karena mendapat pasokan dari dua tempat yaitu darat dan lautan sehingga merupakan ekosistem yang tinggi produktivitas organiknya. Karena lingkungan yang sangat mendukung di perairan pesisir maka tumbuhan lamun dapat hidup dan berkembang secara optimal. Lamun didefinisikan sebagai satu-satunya tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang mampu beradaptasi secara penuh di perairan yang salinitasnya cukup tinggi atau hidup terbenam di dalam air dan memiliki rhizoma, daun, dan akar sejati. Beberapa ahli juga mendefinisikan lamun (Seagrass) sebagai tumbuhan air berbunga, hidup di dalam air laut, berpembuluh, berdaun, berimpang, berakar, serta berbiak dengan biji dan tunas.
Karena pola hidup lamun sering berupa hamparan maka dikenal juga istilah padang lamun (Seagrass bed) yaitu hamparan vegetasi lamun yang menutup suatu area pesisir/laut dangkal, terbentuk dari satu jenis atau lebih dengan kerapatan padat atau jarang. Sedangkan sistem (organisasi) ekologi padang lamun yang terdiri dari komponen biotik dan abiotik disebut Ekosistem Lamun (Seagrass ecosystem). Habitat tempat hidup lamun adalah perairan dangkal agak berpasir dan sering juga dijumpai di terumbu karang.
Ekosistem padang lamun memiliki kondisi ekologis yang sangat khusus dan berbeda dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang. Ciri-ciri ekologis padang lamun antara lain adalah :
Terdapat di perairan pantai yang landai, di dataran lumpur/pasir
Pada batas terendah daerah pasang surut dekat hutan bakau atau di dataran terumbu karang
Mampu hidup sampai kedalaman 30 meter, di perairan tenang dan terlindung
Sangat tergantung pada cahaya matahari yang masuk ke perairan
Mampu melakukan proses metabolisme secara optimal jika keseluruhan tubuhnya terbenam air termasuk daur generatif
Mampu hidup di media air asin
Mempunyai sistem perakaran yang berkembang baik.
Klasifikasi
Lamun memiliki bunga, berpolinasi, menghasilkan buah dan menyebarkan bibit seperti banyak tumbuhan darat. Dan klasifikasi lamun adalah berdasarkan karakter tumbuh-tumbuhan. Selain itu, genera di daerah tropis memiliki morfologi yang berbeda sehingga pembedaan spesies dapat dilakukan dengan dasar gambaran morfologi dan anatomi.

Beginilah padang lamun dan mangrove yang dilihat dengan satelit














C. Terumbu Karang
merupakan salah satu komponen utama sumber daya pesisir dan laut utama, disamping hutan mangrove dan padang lamun. Terumbu karang merupakan kumpulan fauna laut yang berkumpul menjadi satu membentuk terumbu. Struktur tubuh karang banyak terdiri atas kalsium dan karbon. Hewan ini hidup dengan memakan berbagai mikro organisme yang hidup melayang di kolom perairan laut.
Terumbu karang dan segala kehidupan yang ada didalamnya merupakan salah satu kekayaan alam yang dimiliki bangsa Indonesia yang tak ternilai harganya. Diperkirakan luas terumbu karang yang terdapat di perairan Indonesia adalah lebih dari 60.000 km2, yang tersebar luas dari perairan Kawasan Barat Indonesia sampai Kawasan Timur Indonesia (Walters, 1994 dalam Suharsono, 1998).
Indonesia merupakan tempat bagi sekitar 1/8 dari terumbu karang Dunia (Cesar 1997) dan merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman biota perairan dibanding dengan negara-negara Asia Tenggara
Regional Indo-Pasifik terbentang mulai dari Indonesia sampai ke Polinesia dan Australia lalu ke bagian barat ialah Samudera Pasifik sampai Afrika Timur. Regional ini merupakan bentangan terumbu karang yang terbesar dan terkaya dalam hal jumlah spesies karang, ikan, dan moluska.
Berdasarkan bentuk dan hubungan perbatasan tumbuhnya terumbu karang dengan daratan (land masses) terdapat tiga klasifikasi terumbu karang atau yang sampai sekarang masih secara luas dipergunakan.
. Terumbu karang tepi (fringing reefs)
Terumbu karang tepi atau karang penerus berkembang di mayoritas pesisir pantai dari pulau-pulau besar. Perkembangannya bisa mencapai kedalaman 40 meter dengan pertumbuhan ke atas dan ke arah luar menuju laut lepas. Dalam proses perkembangannya, terumbu ini berbentuk melingkar yang ditandai dengan adanya bentukan ban atau bagian endapan karang mati yang mengelilingi pulau. Pada pantai yang curam, pertumbuhan terumbu jelas mengarah secara vertikal. Contoh: Bunaken (Sulawesi), Pulau Panaitan (Banten), Nusa Dua (Bali).
2. Terumbu karang penghalang (barrier reefs)
Terumbu karang ini terletak pada jarak yang relatif jauh dari pulau, sekitar 0.5­2 km ke arah laut lepas dengan dibatasi oleh perairan berkedalaman hingga 75 meter. Terkadang membentuk lagoon (kolom air) atau celah perairan yang lebarnya mencapai puluhan kilometer. Umumnya karang penghalang tumbuh di sekitar pulau sangat besar atau benua dan membentuk gugusan pulau karang yang terputus-putus. Contoh: Batuan Tengah (Bintan, Kepulauan Riau), Spermonde (Sulawesi Selatan), Kepulauan Banggai (Sulawesi Tengah).
3. Terumbu karang cincin (atolls)
Terumbu karang yang berbentuk cincin yang mengelilingi batas dari pulau­pulau vulkanik yang tenggelam sehingga tidak terdapat perbatasan dengan daratan. Menurut Darwin, terumbu karang cincin merupakan proses lanjutan dari terumbu karang penghalang, dengan kedalaman rata-rata 45 meter. Contoh: Taka Bone Rate (Sulawesi), Maratua (Kalimantan Selatan), Pulau Dana (NTT), Mapia (Papua)
4. Terumbu karang datar/Gosong terumbu (patch reefs)
Gosong terumbu (patch reefs), terkadang disebut juga sebagai pulau datar (flat island). Terumbu ini tumbuh dari bawah ke atas sampai ke permukaan dan, dalam kurun waktu geologis, membantu pembentukan pulau datar. Umumnya pulau ini akan berkembang secara horizontal atau vertikal dengan kedalaman relatif dangkal. Contoh: Kepulauan Seribu (DKI Jakarta), Kepulauan Ujung Batu (Aceh)


Zonasi terumbu karang
Windward reef (terumbu yang menghadap angin)
Windward merupakan sisi yang menghadap arah datangnya angin. Zona ini diawali oleh reef slope atau lereng terumbu yang menghadap ke arah laut lepas. Di reef slope, kehidupan karang melimpah pada kedalaman sekitar 50 meter dan umumnya didominasi oleh karang lunak. Namun, pada kedalaman sekitar 15 meter sering terdapat teras terumbu atau reef front yang memiliki kelimpahan karang keras yang cukup tinggi dan karang tumbuh dengan subur. Mengarah ke dataran pulau atau gosong terumbu (patch reef), di bagian atas reef front terdapat penutupan alga koralin yang cukup luas di punggungan bukit terumbu tempat pengaruh gelombang yang kuat. Daerah ini disebut sebagai pematang alga atau algal ridge. Akhirnya zona windward diakhiri oleh rataan terumbu (reef flat) yang sangat dangkal.
Leeward reef (terumbu yang membelakangi angin)
Leeward merupakan sisi yang membelakangi arah datangnya angin. Zona ini umumnya memiliki hamparan terumbu karang yang lebih sempit daripada windward reef dan memiliki bentangan goba (lagoon) yang cukup lebar. Kedalaman goba biasanya kurang dari 50 meter, namun kondisinya kurang ideal untuk pertumbuhan karang karena kombinasi faktor gelombang dan sirkulasi air yang lemah serta sedimentasi yang lebih besar.
D. Rumput laut

Rumput laut adalah salah satu sumberdaya hayati yang terdapat di wilayah pesisir dan laut. Dalam bahasa Inggris, rumput laut diartikan sebagai seaweed. Sumberdaya ini biasanya dapat ditemui di perairan yang berasosiasi dengan keberadaan ekosistem terumbu karang. Rumput laut alam biasanya dapat hidup di atas substrat pasir dan karang mati. Beberapa daerah pantai di bagian selatan Jawa dan pantai barat Sumatera, rumput laut banyak ditemui hidup di atas karang-karang terjal yang melindungi pantai dari deburan ombak. Di pantai selatan Jawa Barat dan Banten misalnya, rumput laut dapat ditemui di sekitar pantai Santolo dan Sayang Heulang di Kabupaten Garut atau di daerah Ujung Kulon Kabupaten Pandeglang. Sementara di daerah pantai barat Sumatera, rumput laut dapat ditemui di pesisir barat Provinsi Lampung sampai pesisir Sumatera Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam.
Selain hidup bebas di alam, beberapa jenis rumput laut juga banyak dibudidayakan oleh sebagian masyarakat pesisir Indonesia. Contoh jenis rumput laut yang banyak dibudidayakan diantaranya adalah Euchema cottonii dan Gracelaria sp. Beberapa daerah dan pulau di Indonesia yang masyarakat pesisirnya banyak melakukan usaha budidaya rumput laut ini diantaranya berada di wilayah pesisir Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi Kepulauan Riau, Pulau Lombok, Sulawesi, Maluku dan Papua.



Berikut gambar jenis jenis pantai

laguna






Cliff


pantai berpasir


Fyord